Tulisan Plt Bupati JR, tentang Proses Hukum Tidak Adil dan Melanggar HAM yang Dialaminya


Timika, kontenmimika.com – Kasus dugaan korupsi pesawat dan helikopter yang mendera Plt. Bupati Mimika, Johannes Rettob (JR), sungguh disayangkan bisa terjadi. Yaitu pada saat dirinya mulai melakukan pembenahan sektor birokrasi agar lebih profesional dan program OPD agar lebih menyentuh kebutuhan warga.

Banyak kejanggalan tegaknya hukum yang timpang itu, seperti diakui sendiri oleh JR dalam rilisnya yang diterima media, Sabtu (04/03/2023).

Sedih minta ampun! Aparat Penegak Hukum (APH) justru bermain hukum sekehendar hati tanpa menghiraukan aturan proses yang berlaku. JR merasa hak dasarnya sebagai manusia dirobek dan diinjak-injak oknum APH di Kejaksaan Tinggi Papua, karena sejumlah proses hukum dilampaui.

Seakan-akan hukum adalah sebuah bola yang sedang dimainkan sendiri dalam atraksi ‘raga-raga’. Ditendang dan diarahkan sendiri sesuka hati, sesuai gaya yang diinginkan oleh oknum APH pemain.

Namun justru atraksi itu menjadi pertontonan yang buruk, yang merusak citra dan kepercayaan warga terhadap institusi penegakan hukum, khususnya di Kejati Papua dan Kejari Timika.

JR mengungkapkan, pelimpahan perkara ke Pengadilan Tipikor Jayapura oleh Kejaksaan Negeri Timika dinilainya tidak sah dan cacat hukum. Mengapa?

Berikut ini 5 poin alasannya, yang ditulis langsung oleh JR berdasarkan kronologi yang dialaminya sendiri dalam proses hukum yang penuh dengan kejanggalan itu.

“Sebagai orang yang ditetapkan oleh Penyidik Kejati Papua, saya merasa bahwa pihak Kejaksaan Tinggi Papua telah menetapkan saya dan Silvy Herawaty sebagai tersangka dengan proses yang tidak adil dan melanggar Hukum Acara Pidana dalam tahapannya serta melanggar dan menginjak Hak Asasi Manusia,” ungkapnya membuka ulasan 5 poin di bawah ini.

“Satu. Proses Penyelidikan Perkara hanya satu bulan oleh Kejaksaan Negeri Timika yaitu di Agustus 2022, dan ditingkatkan menjadi Penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi Papua mulai bulan Agustus 2022,”

“Proses penyidikan selama 6 bulan dan ditetapkan jadi Tersangka pada tanggal 25 Januari 2023. Sebelum saya ditetapkan jadi Tersangka, -dan Silvy Herawaty, oleh Penyidik, media sudah memuat berita penetapan tersangka. Saya belum menerima Surat Pemberitahuan Tersangka, tetapi surat yang bersifat rahasia tersebut sudah beredar di kalangan media dan sudah dipublikasi melalui media-media sosial,”

“Dua. Pada saat pemeriksaan saya dan silvy sebagai Tersangka pada tanggal 17 Pebruari 2022, ada pertanyaan dari Penyidik. Dan saya dan Silvy akan mengajukan 4 orang saksi fakta dan 1 orang saksi ahli meringankan untuk kepentingan Penyidikan bukan Pengadilan.

“Tahapan ini belum dilakukan tetapi pada tanggal 27 Pebruari 2023, kita dipanggil untuk penyerahan berkas Tahap 2. Ini melanggar Hukum Acara Pidana dan melanggar Hak Asasi kami,”

“Tiga. Penyerahan berkas Tahap 2 tidak jadi dilaksanakan dan belum dilaksanakan, karena kami tidak hadir. Ada acara yang kami mintakan dengan surat tertulis baik oleh Penasehat hukum maupun secara pribadi dengan bukti alasan. Dan kami minta pengunduran waktu ke Hari Selasa tanggal 7 Maret 2023,”

“Empat. Pelimpahan berkas Tahap 2 dari Penyidik Kejaksaan Tinggi Papua kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Mimika dilakukan tanpa sepengatahuan kami sebagai tersangka. Karena kami tidak pernah hadir dalam proses itu dan tidak pernah menandatangani Berita Acara apapun dalam proses ini, sehingga kami merasa proses pelimpahan perkara Tahap 2 belum pernah terjadi,”

“Lima. Namun tiba-tiba berkas sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jayapura oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Timika yang didaftarkan pada tanggal 1 Maret 2023, serta dijadwalkan sidang tanggal 9 Maret 2023,”

“Artinya pelimpahan berkas dan alat bukti ke pengadilan tidak sah dan telah melanggar Hukum Acara Pidana dan telah melanggar kepentingan hukum yang adil serta melanggar dan menginjak Hak Asasi kami,” kandas lima poin ditulis JR.

Di akhir tulisannya itu, JR berharap proses penegakan hukum yang timpang ini dievaluasi, dan bahkan jangan sampai terjadi kepada warga masyarakat biasa. Sebagai pejabat publik saja hal mengenaskan itu bisa dialaminya, bagaimana nasib warga biasa seandainya hal itu berulang dan menimpa mereka.

Harus ada evaluasi demi jayanya penegakan hukum bagi orang benar, bukan bagi udang di balik batu.

“Hal ini menjadi preseden buruk untuk penerapan hukum di Indonesia, yang dibuat dan dimulai dari Kejaksaan Tinggi Papua dan Kejaksaan Negeri Mimika. Ini sangat berbahaya,”

“Bagaimana kita mau menegakkan hukum yang adil, menegakkan Hukum Acara Pidana, kalau Aparat Penegak Hukum sendiri yang melanggar?” tanyanya.

“Saya yang dalam kedudukan dan jabatan sebagai Bupati saja dibuat begini, bagaimana kalau terjadi pada warga negara atau masyarakat yang lain?” lirihnya.

“Ini persoalan dapat terjadi, karena perkara Tipikor yang diproses Kejaksaan, Penyidik dari Kejaksaan dan Jaksa Penuntut Umum juga dari Kejaksaan. Harus dievaluasi,” tandasnya.

Berita Terkait

Top